Lifestyle
Beranda / Lifestyle / Stop Memaksa Bahagia! Ini Dampak Mengerikan Toxic Positivity untuk Mental

Stop Memaksa Bahagia! Ini Dampak Mengerikan Toxic Positivity untuk Mental

Stop Memaksa Bahagia! Ini Dampak Mengerikan Toxic Positivity untuk Mental
Stop Memaksa Bahagia! Ini Dampak Mengerikan Toxic Positivity untuk Mental

TIZENESIA.COM – Di era media sosial yang dipenuhi kutipan motivasi seperti “Good vibes only!” atau “Jangan sedih, harus tetap positif!”, banyak orang terjebak dalam toxic positivity—konsep di mana emosi negatif dipaksa ditutupi dengan berpura-pura bahagia.

Padahal, psikolog menyatakan bahwa menolak emosi negatif justru memperburuk kesehatan mental. Artikel ini akan membahas:
✔ Apa itu toxic positivity?
✔ Contoh sehari-hari yang sering tak disadari
✔ Dampak buruknya bagi mental health
✔ Cara menghindarinya dengan self-compassion


1. Apa Itu Toxic Positivity?

Definisi:
Toxic positivity adalah kepercayaan bahwa seseorang harus selalu berpikir positif, bahkan dalam situasi sulit, dengan menolak atau mengabaikan emosi negatif seperti sedih, marah, atau kecewa.

Perbedaan dengan Positive Thinking yang Sehat:

Positive Thinking SehatToxic Positivity
Mengakui emosi negatif, lalu mencari solusiMenyangkal emosi negatif sama sekali
Membantu bangkit dari kesulitanMemaksa bahagia saat sebenarnya tidak
Contoh: “Aku sedih, tapi aku bisa belajar dari ini.”Contoh: “Jangan menangis, harus kuat!”

2. Contoh Toxic Positivity dalam Kehidupan Sehari-hari

Berikut kalimat yang sering diucapkan tapi termasuk toxic positivity:

  • “Jangan stres, lihat sisi baiknya!” → Padahal, stres adalah respons normal.
  • “Masih banyak yang lebih menderita, kamu harus bersyukur!” → Meminimalkan perasaan seseorang.
  • “Jangan overthinking, positif aja!” → Mengabaikan kecemasan yang valid.
  • “Move on, jangan baperan!” → Menghukum seseorang karena merasa kecewa.

Kasus Nyata:
Seorang wanita yang baru kehilangan pekerjaan dipaksa “tersenyum dan bersyukur” oleh teman-temannya. Alih-alih membaik, ia justru merasa bersalah karena tidak bisa bahagia, memperparah depresinya.


3. Dampak Buruk Toxic Positivity

A. Bagi Mental Health

  • Emosi tertekan: Perasaan negatif yang dipendam bisa meledak jadi kecemasan atau depresi.
  • Rasa bersalah: Orang merasa “salah” karena tidak bisa “positif”.
  • Hubungan rusak: Orang lain merasa tidak didengar saat curhat.

B. Bagi Perkembangan Diri

  • Menghambat penyembuhan: Trauma tidak diproses dengan sehat.
  • Self-awareness rendah: Tidak belajar memahami emosi sendiri.

Fakta Psikologis:
Penelitian Journal of Personality and Social Psychology (2018) menemukan bahwa orang yang menerima emosi negatif justru lebih tangguh dalam jangka panjang.


4. Cara Menghindari Toxic Positivity

A. Untuk Diri Sendiri

  1. Validasi emosi sendiri:
    “Aku boleh marah/sedih, ini wajar.”
  2. Ganti self-talk negatif:
    Daripada “Aku lemah karena nangis”, katakan “Aku manusiawi.”
  3. Ekspresikan dengan sehat:
    Menulis jurnal, meditasi, atau bicara ke psikolog.

B. Untuk Menghadapi Orang Lain

  1. Jangan memotong curhatan dengan kalimat positif:
    Daripada “Jangan sedih”, coba “Aku di sini untukmu.”
  2. Akui kesulitan mereka:
    “Wajar kok kalau kamu kecewa.”
  3. Tawarkan solusi, bukan penyangkalan:
    “Apa yang bisa aku bantu?”

5. Alternatif dari Toxic Positivity

Gunakan realistic optimism:

  • “Aku sedih sekarang, tapi aku percaya ada jalan keluar.”
  • “Ini memang berat, tapi aku tidak sendirian.”

Teknik Psikologi yang Direkomendasikan:

  • RAIN (Recognize, Allow, Investigate, Nurture) dari Tara Brach.
  • Emotional Agility (Susan David): Fleksibel menghadapi emosi.

Toxic positivity ibarat plester luka mental—tidak menyembuhkan, hanya menutupi. Daripada memaksa “positive thinking”, belajar menerima emosi apa adanya justru membuat kita lebih resilien.

Kamu tidak harus selalu positif. Merasa sedih, marah, kesal, frustrasi, takut, atau cemas itu wajar. Memiliki perasaan tidak membuatmu menjadi orang negatif. Itu justru membuatmu manusiawi.” — Lori Deschene

Pertanyaan Refleksi:

  • Pernahkah kamu merasa tertekan karena dipaksa “positif”?
  • Bagaimana cara kamu memvalidasi emosi negatif?

Referensi:

  • Susan David, Emotional Agility (2016).
  • Studi Journal of Personality and Social Psychology (2018).
  • Tara Brach, Radical Acceptance (2003).