TIZENESIA.COM – Setiap saat, rakyat Indonesia membayar. Bayar tiket Garuda. Bayar listrik PLN. Bayar bensin Pertamina. Tak ada yang gratis. Tak ada yang mangkir. Tapi entah kenapa, tiga perusahaan negara ini, yang seharusnya paling kaya pelanggan, justru paling sering merugi.
Lalu muncul pertanyaan yang rasanya sederhana, tapi menggigit:
Kalau semua sudah membayar, ke mana larinya uang itu?
Garuda: Sayap Negara yang Diseret Utang dan Moral
Garuda Indonesia lahir dengan gagah sebagai simbol kedaulatan bangsa di udara. Tapi hari ini, ia terbang dengan sayap patah.
Utangnya menumpuk, laporan keuangannya berdarah, dan kepercayaannya di mata publik merosot.
Apa yang salah?
Masalah Garuda bukan di kabin, tapi di kantor.
Bertahun-tahun perusahaan ini menjadi ladang permainan kontrak; mulai dari sewa pesawat yang kemahalan, rute yang ditentukan bukan karena profit tapi karena politik, hingga suap dan gratifikasi yang menyeret nama-nama petingginya ke meja hijau.
Setiap kali rugi, rakyat disuruh memahami bahwa ini “konsekuensi bisnis penerbangan global.”
Padahal, masalahnya bukan global, tapi lokal. Garuda bukan kalah bersaing, melainkan tenggelam dalam kubangan tata kelola yang bobrok.
Ironinya, di tengah rugi, bonus dan fasilitas manajemen jalan terus.
Direksi bisa berganti, tapi pola tetap sama: yang rugi perusahaan, yang kenyang pejabatnya.
PLN: Terang di Rumah, Gelap di Manajemen
Tak ada rumah tanpa PLN. Tak ada industri tanpa listrik.
Kita semua pelanggan wajib. Tapi laporan keuangannya tetap suram.
PLN selama ini hidup dalam paradoks: menjual listrik murah demi kepentingan rakyat, tapi membeli bahan bakar mahal dari Pertamina.
Pemerintah menjanjikan kompensasi, tapi pencairannya seperti sinyal listrik yang sering putus nyambung.
Namun, persoalan paling dalam bukan cuma di harga atau subsidi.
Di tubuh PLN sendiri, inefisiensi dan pemborosan proyek masih menjadi penyakit kronis.
Mulai dari pembangkit mangkrak, transmisi yang tak efisien, hingga proyek-proyek siluman yang nilainya triliunan tapi manfaatnya tak jelas.
Lebih getir lagi, di tengah kerugian, bonus direksi dan tunjangan pejabat tinggi tetap jalan.
Tak jarang proyek disusun bukan berdasarkan kebutuhan rakyat, tapi untuk “menyesuaikan” anggaran yang sudah diatur dari atas.
Jadi, terang listrik belum tentu berarti terang akal sehat.
Pertamina: Energi untuk Negeri, tapi Bocor di Mana-mana
Tak ada perusahaan yang lebih dekat dengan kehidupan rakyat selain Pertamina.
Dari bensin di motor, gas di dapur, hingga solar di kapal nelayan; semuanya datang dari sana.
Tapi tiap tahun, laporan keuangannya seperti barometer cuaca yang murung.
Ketika harga minyak dunia naik, Pertamina menjerit karena harga jual BBM di dalam negeri dikunci oleh pemerintah.
Subsidi dijanjikan, tapi sering tak menutup kerugian.
Sementara itu, biaya operasional membengkak, proyek kilang molor bertahun-tahun, dan pengadaan alat dan jasa kerap jadi ruang gelap bagi permainan rente.
Dan lagi-lagi, dalam suasana rugi, bonus manajemen tetap cair.
Direksi baru masuk, rapat direksi disambut seremonial mewah, laporan publik dikemas manis, tapi di lapangan kebocoran tetap terjadi; bukan cuma pada pipa minyak, tapi juga pipa keuangan.
Pertamina sering membanggakan diri sebagai “perusahaan energi kelas dunia,” tapi jarang berani terbuka soal efisiensi, transparansi tender, dan pengawasan internal.
Kelas dunia di citra, tapi belum tentu di tata kelola.
Tiga Nama Besar, Satu Pola yang Sama
Garuda, PLN, dan Pertamina seolah mewakili tiga elemen: udara, listrik, dan api, yang semuanya vital bagi kehidupan, tapi sama-sama terbakar oleh penyakit lama: korupsi, inefisiensi, dan privilese pejabat.
Rakyat dipaksa jadi pelanggan setia, tapi tak pernah diizinkan tahu bagaimana uang mereka dipakai.
BUMN dijalankan seolah perusahaan milik penguasa, bukan milik bangsa.
Ketika laba, pejabatnya berpesta. Ketika rugi, rakyat disuruh maklum.
Inilah wajah ekonomi setengah hati:
dikelola dengan dalih “milik negara”, tapi dijalankan tanpa disiplin korporasi sejati.
Dibungkus jargon nasionalisme, tapi isinya transaksi kekuasaan dan bonus manajemen.
Kita Membayar, Mereka Bermain
Rakyat membayar tiket, listrik, dan bensin dengan disiplin.
Tapi uang itu menembus lapisan sistem yang bocor, berhenti di meja para pejabat yang sibuk menghitung tunjangan, bukan kinerja.
Inilah wajah bisnis negara: kerugian disosialisasikan, keuntungan diprivatisasi.
Ketika Garuda terbang rugi, PLN tekor, atau Pertamina defisit, kita yang menanggung lewat pajak, subsidi, atau inflasi.
Tapi ketika ada bonus, dividen, dan fasilitas, hanya segelintir orang di puncak piramida yang menikmati.
BUMN seharusnya jadi tulang punggung ekonomi, tapi sering jadi punggung yang ditunggangi terlalu banyak kepentingan.
Saatnya Rakyat Tahu dan Menagih Akal Sehat
Kita tak butuh BUMN yang “milik negara” hanya di atas kertas.
Kita butuh BUMN yang milik rakyat dalam praktik nyata; dikelola dengan transparansi, profesionalisme, dan akal sehat.
Garuda harus terbang karena kinerja, bukan karena subsidi.
PLN harus menyala karena efisiensi, bukan karena janji kompensasi.
Pertamina harus untung karena integritas, bukan karena permainan angka.
Selama politik lebih berkuasa dari etika bisnis, selama kursi direksi ditentukan bukan oleh kemampuan tapi kedekatan, maka tak peduli berapa kali kita membayar. Uang kita akan terus terbang bersama Garuda, terbakar di PLN, dan menguap di Pertamina.
Sumber: Kompasiana/Tuhombowo Wau

