TIZENESIA.COM – Suasana gedung di Jalan Kramat Raya pada 28 Oktober 1928 pasti sangat berbeda dengan yang kita saksikan hari ini. Kala itu, para pemuda dari berbagai penjuru Nusantara berkumpul dengan semangat kebangsaan yang membara. Mereka menyatukan visi melalui ikrar bersejarah yang kita kenal sebagai Sumpah Pemuda – komitmen pada Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa.
Namun, 96 tahun kemudian, semangat itu seperti hanya menjadi kenangan. Jika para pemuda zaman itu berikrar, pemuda masa kini – Generasi Z – lebih banyak menghabiskan waktu untuk bergoyang mengikuti tren terbaru di media sosial.
Dari Ruang Kongres ke Dunia Maya
Bayangkan dua situasi yang bertolak belakang: di satu sisi, ruangan dipenuhi pemuda dengan wajah serius, memperdebatkan masa depan bangsa. Di sisi lain, ruang kosong di sekolah atau pusat perbelanjaan ramai dengan anak muda yang asyik merekam dance challenge untuk TikTok. Yang pertama melahirkan Sumpah Pemuda, yang kedua menghasilkan konten yang mungkin akan terlupakan dalam hitungan jam.
Ini bukan tentang penolakan terhadap kemajuan zaman atau kerinduan berlebihan pada masa lalu. Ini tentang pertanyaan mendasar: apa yang sebenarnya kita perjuangkan hari ini? Para pemuda 1928 mempertaruhkan nyawa untuk persatuan, sementara banyak pemuda sekarang mempertaruhkan harga diri untuk jumlah like dan views.
Erosi Nilai di Era Digital
Yang memprihatinkan, fenomena ini bukan sekadar pergeseran minat, melainkan proses pengikisan makna Sumpah Pemuda dari dalam. Persatuan yang dulu diperjuangkan dengan pengorbanan besar, kini mudah tercerai-berai oleh algoritma media sosial yang memicu perpecahan. Semangat kebangsaan yang dibangun melalui diskusi mendalam, kini tergerus budaya instan yang menempatkan popularitas di atas substansi.
Lambat laun, makna “persatuan Indonesia” berpotensi bergeser menjadi “persatuan followers” atau “komunitas netizen”. Identitas kebangsaan yang dibangun atas kesadaran sejarah dan budaya bisa tergantikan oleh identitas digital yang artifisial dan rapuh.
Antara Tren dan Kontribusi Nyata
Lantas, apakah semua tren dan gaya hidup kekinian ini salah? Tentu tidak. Media sosial dan platform digital menawarkan ruang tanpa batas untuk berekspresi dan berkreasi. Banyak anak muda yang justru memanfaatkannya untuk mempromosikan budaya Indonesia ke kancah internasional.
Persoalannya terletak pada keseimbangan. Ketika kita lebih hafal gerakan dance terbaru daripada butir-butir Pancasila, ketika kita lebih memedulikan trending topic daripada isu bangsa, ketika kita lebih aktif berkomentar di media sosial daripada terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan – di situlah terjadi ketimpangan yang mengkhawatirkan.
Menemukan Kembali Makna Persatuan
Memperingati Sumpah Pemuda di era digital bukan berarti menolak kemajuan zaman. Justru, inilah saatnya kita menjadi lebih bijak dalam menyikapi perkembangan teknologi. Bergoyang dan mengikuti tren boleh saja, asalkan tidak melupakan jati diri sebagai bangsa.
Mari kita isi kemerdekaan dengan konten-konten bermutu yang tidak hanya menghibur tetapi juga mencerdaskan. Mari kita gunakan media sosial untuk menyebarkan semangat persatuan, bukan perpecahan. Mari kita buktikan bahwa Generasi Z tidak hanya pandai bergoyang, tetapi juga mampu meneruskan estafet perjuangan pemuda 1928 dengan cara kami sendiri.
Karena sesungguhnya, yang akan dikenang sejarah bukanlah tren yang berlalu, tetapi kontribusi nyata yang kita berikan untuk negeri ini. Warisan digital kita seharusnya bukan sekadar goyangan yang viral, tetapi aksi nyata yang mengukuhkan persatuan bangsa.

