Opini
Beranda / Opini / Makan Bergizi Gratis, Korupsi yang Dilegalisasi 

Makan Bergizi Gratis, Korupsi yang Dilegalisasi 

Makan Bergizi Gratis, Korupsi yang Dilegalisasi 
Makan Bergizi Gratis, Korupsi yang Dilegalisasi 

TIZENESIA.COM – Sebuah program yang seharusnya menjadi solusi, justru berubah menjadi panggung bagi sederet ironi. Inilah potret buram program makan bergizi gratis yang diusung pemerintah. Alih-alih memastikan asupan nutrisi bagi generasi penerus, program ini justru terjerumus dalam kubangan masalah klasik: inefisiensi, korupsi, dan budaya “asal bos senang”.

Dana yang Menyusut di Tengah Jalan

Ironi pertama terletak pada penyusutan dana yang drastis sebelum sampai ke piring siswa. Dari anggaran Rp 15.000 per siswa, hanya Rp 10.000 yang dialokasikan untuk bahan baku setelah dipotong biaya sewa dan operasional. Yang lebih memprihatinkan, di lapangan, “potongan” tambahan masih terjadi, menyisakan nilai riil per porsi hanya sekitar Rp 6.000. Penyusutan lebih dari separuh ini tentu berimbas langsung pada kualitas dan kuantitas makanan.

Akibatnya, gizi yang minim menjadi konsekuensi logis. Menu yang disajikan seringkali didominasi makanan ultra-olahan, biskuit, atau minuman bubuk berenergi—pilihan yang jauh dari kata bergizi. Tak heran jika banyak siswa enggan menyantapnya karena menu tidak menarik atau bahkan dalam kondisi basi. Makanan pun berakhir sebagai sampah, sebuah pemborosan yang tragis.

Pemerintah dalam Gelembung Laporan Palsu

Di tengah kondisi memilikan ini, respons pemerintah bagai “kura-kura dalam perahu.” Mereka hanya menghitung porsi yang disajikan, bukan yang dikonsumsi. Makanan yang terbuang percuma tidak masuk dalam kalkulasi, seolah-klaim keberhasilan program dibangun di atas tumpukan sampah yang tak terhitung. Laporan yang disajikan pun menjadi bias, jauh dari realita sesungguhnya.

Proyek Silaturahmi dan Budaya Asal Bapak Senang

Masalahnya tidak berhenti pada anggaran yang singset. Program mulia ini telah disandera oleh kepentingan politik dan kronisme. Banyak mitra penyedia makanan ternyata memiliki hubungan erat dengan politisi partai penguasa, mengubah program makan bergizi menjadi ajang “bagi-bagi proyek” untuk kroni. Lebih parah lagi, lembaga pelaksana memanfaatkan proyek ini untuk menggalang dana dari pihak luar dengan dalih mendanai dapur.

Dibalik Gelar Pahlawan: Jejak Soeharto dalam Pembantaian 1965 yang Dikabarkan Sejarah

Praktik korupsi dan minimnya gizi ini nyaris tidak pernah dibahas secara terbuka. Seolah, ada ketakutan untuk menyampaikan kabar buruk. Budaya “Asal Bapak Senang” (ABS) yang mengakar sejak Orde Baru, kembali menghantui. Para bawahan berlomba menyuguhkan laporan yang manis, menyembunyikan kegagalan di lapangan. Keracunan massal pun dianggap sebagai statistik biasa, bukan sebagai alarm kegagalan sistem.

Belajar dari Sejarah: Bahaya Mengabaikan Realita

Sejarah telah mengajarkan kita betapa berbahayanya seorang pemimpin yang dikelilingi oleh para penjilat dan laporan-laporan palsu. Pada masa Stalin, praktik pemalsuan data dalam program pertanian kolektif berujung pada bencana kelaparan di Ukraina. Demikian pula, menjelang keruntuhan Orde Baru, Soeharto terus diyakinkan bahwa situasi “aman terkendali,” padahal ekonomi Indonesia sedang di ujung tanduk.

Prabowo bukanlah Stalin. Namun, jika ia menutup mata dan telinga terhadap kenyataan pahit, hanya memilih mendengar laporan-laporan yang menyenangkan, ia berisiko mengulangi tragedi sejarah yang sama: kebijakan yang tidak tepat sasaran, ekonomi yang terpuruk, dan birokrasi yang dipenuhi oleh para “yes-man.”

Membuka Mata sebelum Terlambat

Program makan bergizi gratis memiliki niat mulia. Namun, niat saja tidak cukup. Pemerintah harus berani membongkar seluruh mata rantai program ini. Audit yang transparan terhadap aliran dana dan seleksi mitra yang independen mutlak diperlukan. Yang terpenting, pemimpin harus membuka diri terhadap kritik dan laporan yang jujur, betapapun pahitnya.

Tanpa langkah tegas untuk memutus mata rantai ironi ini, program ini tidak akan pernah menjadi solusi. Ia hanya akan menjadi monumen bagi kegagalan birokrasi dan pengulangan sejarah kelam bahwa di negeri ini, proyek rakyat masih sering dikorbankan untuk kepentingan segelintir orang. Sudah saatnya kita memilih: terus berkubang dalam ironi, atau membuka mata sebelum semuanya terlambat.

Mereka Berikrar, Kita Bergoyang: Tradisi ‘Nge-trend’ yang Mengikis Makna Sumpah Pemuda